Ikhwati fillah, kali ini kita akan beralih sejenak ke India… benar, negeri berpenduduk terbesar kedua di dunia itu dahulu adalah salah satu bumi Islam. Namun sayang kebanyakan dari kita tidak tahu sedikitpun tentang sejarah Islam di sana. Oleh karenanya, kali ini penulis akan mengulas salah seorang tokoh besar dalam sejarah India… beliau adalah salah seorang Raja yang keadilannya jadi buah bibir sepanjang masa. Beliau adalah Sultan Mudhaffar bin Mahmud, salah seorang Raja yang berkuasa di wilayah Ahmedabad India.
Ahmedabad konon merupakan pusat peradaban dan ibukota India. Ia terkenal lewat kebun-kebunnya yang indah, tata letak kota yang teratur, bangunan-bangunan yang megah, keamanan dan keadilan yang merata, serta banyaknya ulama dan orang shalih di antara warganya.
Sultan Mudhaffar lahir pada hari Kamis 30 Syawwal tahun 875 H di kota Gujarat. Beliau dididik layaknya seorang calon ulama yang tekun beribadah. Memang, keluarga beliau adalah keluarga ningrat yang sebagian besar rajanya adalah orang shalih. Beliau juga sempat menamatkan sejumlah kitab yang terkenal di zamannya. Beliau juga cukup mahir dalam ilmu hadits, yang didapat dari gurunya Jamaluddien Al Mubarak dan Majduddien Al Aijy. Selain itu beliau sempat juga belajar ilmu-ilmu lain seperti kaligrafi, bahkan pernah menyalin Al Qur’an dengan tangannya lalu dikirimkan ke Mekkah dan Madinah. Beliau hafal Al Qur’an saat masih remaja, dan jago memainkan pedang, tombak, menunggang kuda, bela diri dan ilmu peperangan secara umum.
Dahulu saat India masih dalam kekuasaan Islam, banyak terdapat di sana raja-raja yang berbaju ulama dan ahli hadits. Mereka adalah orang-orang yang mengumpulkan antara kekayaan dunia dan keshalihan dalam beragama.
Konon leluhur Sultan Mudhaffar semuanya penguasa yang shalih, akan tetapi beliau melebihi semua leluhurnya.
Pada tanggal 3 Ramadhan 917 H, beliau naik tahta menjadi Raja dalam usia 42 tahun, dan terus berkuasa hingga wafat pada tanggal 2 Jumadal Ula 932 H. Jadi, beliau berkuasa selama lima belas tahun. Akan tetapi karena keadilan, ketakwaan dan kedermawanannya yang luar biasa, masa yang lama tadi serasa amat singkat bagi rakyatnya, seakan hanya lima belas hari.
Beliau adalah Raja yang erat mengikuti sunnah Rasulullah… ya, sesuatu yang amat langka kita saksikan pada penguasa hari ini, kalaupun hal itu masih ada. Beliau senantiasa menerapkan hadits-hadits yang beliau hafal dari kedua gurunya tadi… baik dalam masalah yang besar maupun kecil, dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun dalam mengatur rakyatnya.
Beliau demikian menghormati para ulama dan bersahabat dengan mereka. Beliau menjadikan mereka sebagai rujukan. Awalnya, beliau kurang berbaik sangka dengan para ulama yang berbau sufi, namun di akhir hayatnya beliau mulai simpati kepada mereka.
Sultan Mudhaffar Mahmud adalah orang yang amat takut kepada Allah. Meski dirinya seorang yang sangat dermawan, namun ia khawatir kalau sampai keluar dari aturan syari’at. karenanya, suatu ketika ia bertanya kepada salah seorang alim kepercayaannya yang bernama Kharm Khan: “Engkau telah menyaksikan semua yang kudermakan, tapi aku khawatir bila ini semua termasuk tindakan mubazir terhadap harta kaum muslimin… dan jika aku menguranginya, aku khawatir menjadi orang yang bakhil. Kelak bila Allah menanyaiku tentang harta ini, apakah yang mesti kukatakan?”
Renungkanlah para pendengar… berapa banyak ulama dan orang shalih yang gelisah lantas bertanya seperti Raja yang satu ini?
Beliau konon senantiasa menjaga wudhu’nya, tidak pernah menyentuh khamr sama sekali, senantiasa shalat berjama’ah, tidak pernah membicarakan aib orang, bahkan sangat pemaaf dan dermawan. Beliau senantiasa memantau rakyatnya dari hal-hal yang besar sampai yang sepele dan mengurusi mereka seorang diri. Bahkan tak jarang beliau mengganti pakaiannya dengan pakaian rakyat jelata lalu keluar dari istana dan bergaul dengan mereka siang malam. Dengan begitu mereka tidak mengenalnya dan beliau bisa melihat langsung tingkah laku mereka dan tahu apa keluhan mereka.
Di samping itu, beliau juga memantau kondisi kerajaan-kerajaan di sekitarnya, terutama yang beragama Hindu. Beliau menyebar sejumlah mata-mata hingga tak ketinggalan informasi tentang mereka.
Meski tidak gemar berperang, beliau adalah panglima perang yang jenius. Pernah suatu ketika beliau dimintai tolong oleh Sultan Mahmud Al Khalji tetangganya untuk mengusir pasukan majusi yang menduduki negerinya. Beliau meminta bantuan militer karena pasukan majusi telah merebut ibukota dan istana tempat ada anak isterinya. Maka Sultan Mudhaffar datang dengan pasukan besar untuk menolong tetangganya, akan tetapi musuh mengelabuinya dengan pura-pura setuju untuk menyerahkan benteng mereka, namun mengulur-ulur sembari meminta bantuan kepada sekutunya. Maka datanglah panglima India yang terkenal dengan nama Rongka Sanka untuk menolong sekutunya. Kala itu, Sultan Mudhaffar ibarat dalam jepitan kakak tua karena dikepung oleh musuh dari seluruh penjuru. Akan tetapi muncullah siasat perang jenius dari benaknya, dan dengan keberanian yang luar biasa beliau mendobrak benteng dan berhasil menghantam kedua pasukan musuh sekaligus hingga menang dengan gilang gemilang.
Ketika beliau tiba di gerbang kota, beliau menoleh kepada Sultan Mahmud seraya mengucapkan selamat atas kemenangannya, lalu berkata: Bismillah, masuklah dengan aman sentausa sembari memutar tali kudanya untuk pulang ke negerinya. Akan tetapi Sultan Mahmud tidak membiarkannya pulang begitu saja, hingga memaksanya untuk masuk mendahului dirinya, lalu membawa anak-anaknya yang selamat dari tawanan kepada Sultan Mudhaffar. Kemudian beliau memperlihatkan pusaka leluhurnya kepada Sang Sultan, demikian pula dengan tempat-tempat bersejarah di negerinya.
Setelah itu, Sultan memanggil seluruh pembesar kerajaan dan para panglima lantas berkata di hadapan mereka: “Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kepadaku apa yang kucita-citakan lewat keberanianmu, dan sekarang aku tak lagi berhasrat terhadap kerajaan ini dan engkaulah yang lebih berhak atasnya dari padaku”.
Mudhaffar menjawab: “Sesungguhnya langkah pertamaku kemari adalah karena Allah, bukan karena kekuasaan. Semoga Allah memberkahi kerajaanmu bila engkau menerapkan syar’iat Allah di dalamnya dan kita saling bekerja sama”.
Mahmud mengatakan: “Kerajaanku kini tak punya pasukan yang mampu melindungi dan aku tidak aman atas serangan mereka kembali”.
Mudhaffar menjawab: “Baiklah kalau begitu”. Beliau lantas meninggalkan 12 ribu orang pasukannya di bawah pimpinan Asif Khan seraya berpesan: “Kalian tetap bekerja seperti biasa, namun gaji kalian menjadi tanggunganku seperti sebelumnya. Adapun apa yang diberikan oleh Mahmud maka itu semata-mata hanyalah tambahan bagi kalian”, setelah itu beliau memberi Mahmud segudang harta!
Ketika Mudhaffar hendak kembali, beliau dinasehati oleh para pembesarnya agar benteng tersebut dimasukkan dalam kerajaannya. Maka beliau menoleh kepada Mahmud seraya berkata: “Jagalah gerbang benteng dengan pasukanmu, dan jangan biarkan seorang pun masuk setelahku, meskipun ia sahabatku atau anak-anakku”.
Sebelum berpisah dengannya, Mahmud menjamu Mudhaffar di istana, lalu mengajaknya ke sebuah ruangan tertutup. Ia kemudian membuka pintu bagi Mudhaffar maka muncullah sejumlah wanita cantik yang tak pernah terlihat sebelumnya sembari menaburkan bunga-bunga dan permata di hadapan Mudhaffar. Seketika itu Sultan yang shalih ini menundukkan pandangannya dan mengisyaratkan kepada para wanita tadi agar mengenakan hijab karena memandang wanita yang bukan muhrim adalah haram hukumnya. Maka Mahmud berkata: “Mereka semua adalah budakku, dan aku adalah budakmu”. Maka Mudhaffar mendoakan kebaikan untuknya seraya berpaling tanpa melihat seorang pun dari wanita tersebut.
Konon, tradisi Raja-raja muslim pabila selesai memperhatikan kesejahteraan negerinya, mereka mencurahkan perhatiannya kepada negeri yang menjadi milik seluruh kaum muslimin, alias kedua tanah suci. Mereka mewakafkan sejumlah wakaf dan mengirim berbagai bantuan ke Mekkah dan Madinah. Demikian pula dengan bantuan Mudhaffar kepada warga Mekkah dan Madinah yang tak pernah henti. Bahkan ia sempat mengirim armada yang dipenuhi dengan kain-kain termahal lalu dikirim sebagai hadiah ke pelabuhan Jeddah. Beliau juga membangun sebuah madrasah di Mekkah, lengkap dengan asrama yang diwakafkan.
Konon berita kematiannya sungguh ajaib, menandakan bahwa ia insya Allah mendapat khusnul khatimah dan menjadi penghuni Jannah. Berikut ini adalah kisah yang terdapat dalam kitab Nuzhatul Khawatir karya salah seorang ulama India yang bernama Abdul Hay Al Hasani, ayah dari Syaikh Abul Hasan An Nadawi. Beliau menceritakan bahwa pada tahun 931 H, Sultan Mudhaffar keluar ke lapangan untuk shalat istisqa’ (minta hujan). Hari itu beliau amat banyak bersedekah dan memperhatikan orang-orang yang membutuhkan di setiap lapisan masyarakat. Beliau meminta doa dari mereka, baru kemudian melaksanakan shalat. Konon doa terakhir yang beliau ucapkan saat itu ialah: “Ya Allah, aku adalah hamba-Mu yang tak mampu membela diriku sedikitpun. Kalaulah Engkau menahan hujan akibat dosa-dosaku, maka inilah kepalaku yang berada dalam kekuasaanmu… turunkanlah hujan bagi kami Ya Arhamarrahimien!”
Maka belum lagi beliau mengangkat kepalanya, anginpun berhembus kencang lalu muncul awan dengan suara halilintar yang menggelegar dan turunlah hujan. Beliaupun sujud syukur atas hal itu dan mendapat doa dari rakyatnya usai shalat tadi sembari terus bersedekah kesana kemari.
Sejenak setelah itu, beliau merasa sedikit malas dan sakit perut… dalam kondisi seperti itu, beliau lalu mengadakan sebuah majelis yang dipenuhi oleh para ulama. Mereka saling bercerita tentang amalan apakah yang layak menjadi bekal ke akhirat nanti… pembicaraan pun bersambung hingga membahas masalah rahmat Allah dan karunia-Nya. Maka Mudhaffar angkat bicara… ia menjelaskan betapa besar karunia Allah terhadapnya hingga ia tak mampu mensyukurinya. Ia mengatakan bahwa tidak ada satu hadits pun yang kuriwayatkan dari guruku kecuali kuhafal sanadnya dan kutahu kondisi para perawinya semuanya. Dan tidak satu ayat pun yang kuhafal berkat karunia Allah, melainkan aku tahu tafsirnya, asbabunnuzulnya dan ilmu qiraatnya. Aku juga faham tentang ilmu fiqih yang kuharap dapat membantuku memahami agama Allah. Aku pun pernah membaca kitab Ma’alimut Tanzil sebelum ini, namun kuharap aku menyelesaikannya di Jannah kelak insya Allah, maka janganlah kalian lupa untuk mendoakanku karena aku merasa bahwa tangan dan kakiku mulai lemas… maka mereka yang hadir pun mendoakan keberkahan dan rahmat bagi umur beliau.
Di hari-hari terakhir beliau, yang bertepatan dengan hari Jum’at; beliau pergi ke istana lalu berbaring di sana hingga tengah hari. Beliaupun minta untuk diambilkan air wudhu lalu shalat sunnah dua roka’at. Usai shalat beliau berwasiat kepada orang dekatnya yang bernama Rajah Muhammad Husain seraya berkata: “Allah telah mengangkatmu melalui ilmu, karenanya kuharap engkau menghadiri jenazahku lalu membacakan surat Yasin kepadaku dan memandikanku dengan tanganmu… dan aku minta maaf untuk itu semua”, maka Rajah menghaturkan pujian kepada Mudhaffar dan berdoa untuknya.
Sesaat kemudian terdengarlah suara adzan… Mudhaffar pun bertanya: “Apakah itu pertanda masuk waktu?” Rajah menjawab bahwa itu hanyalah adzan peringatan agar orang-orang bersiap untuk shalat Jum’at. Maka Mudhaffar berkata: “Kalau shalat dhuhur, aku masih bisa melakukannya di samping kalian, namun shalat asarnya akan kulakukan di sisi Allah, di Jannah kelak insya Allah”. Kemudian beliau memerintahkan mereka yang hadir untuk melaksanakan shalat Jum’at sembari minta diantar ke mushalla pribadinya. Beliau kemudian shalat dan berdoa kepada Allah dengan sangat khusyu’, layaknya doa orang yang hendak berpisah dengan dunia selamanya. Beliau menyitir ucapan Nabi Yusuf yang mengatakan:
Ya Rabbi, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian takbir mimpi. (wahai Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh (Yusuf: 101).
Kemudian beliau bangkit dari mushallanya lalu berbaring di atas kasur sambil menghadap kiblat, kemudian mengucapkan: laa ilaaha illallaah, muhammadun Rasuulullaah kemudian wafat tatkala khatib sedang khutbah di atas mimbar…
Demikianlah ikhwati fillah, semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi kita, washallallaahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wasallam…
Diterjemahkan oleh Abu Hudzaifah Al Atsary dari ‘Rijaalun Minat Taarikh’, oleh Syaikh Ali Thanthawi rahimahullah.
Nb: tolong sempatkan untuk menulis komentar dan voting… jazakumullahu khairan.